BGRPLRT

Tragedi tanjakan Cicariu kombinasi pecel lele tahik manusia di Cimahi tahun 2014 lalu ternyata tidak membuat kami surut untuk kembali melakukan turing sepeda. Tapi entah info dari mana, kami berpikiran rute ke Pelabuhan Ratu akan jauh lebih ringan tanpa adanya tanjakan-tanjakan setan seperti Jakarta-Bandung lalu. Kelak terbukti pilihan ini adalah pendapat dari orang sok tahu yang belum pernah ke Pelabuhan Ratu dan tidak bisa membaca peta kontur. Bersepeda ke Pelabuhan Ratu, adalah penyiksaan paha betis tiada akhir.

peltu

Once a year, ride somewhere you never been before

Pagi itu Bogor kami jadikan sebagai titik start. Untuk memampas waktu agar tidak tiba terlalu malam di Pelabuhan Ratu seperti dulu Jakarta-Bandung. Berniat berangkat lepas subuh, akhirnya baru bisa mulai menggenjot sekitar pukul tujuh. Kami memilih jalur Cijeruk sebagai alternatif rute Caringin dengan justifikasi untuk menghindari jalan raya yang padat dan ramai kendaran truk besar moda distribusi pabrik-pabrik sepanjang Jalan Raya Sukabumi. Strategi yang blunder, bukan saja menjadi lebih jauh karena memutar tapi juga kontur naik turun yang langsung menguras stamina kami sejak awal perjalanan. Akhirnya terjadi juga insiden klasik di setiap trek berbukit naik turun: rantai putus – salah satu rantai kawan kami putus dan tak satu pun yang membawa rantai cadangan karena menggampangkan ini bukan turing XC – maklum kami ini troll partikelir amatir modal sejumput nekat.

10644297_10154974736035184_9086904698665985513_o.jpg

Keblasuk rute Cijeruk

Insiden itu berimbas ke target dan jadwal kelajuan kami, karena mas Abbit terpaksa menuntun sepedanya yang tentu saja kami temani. Ketika akhirnya sampai di jalan raya Lido – agar lebih cepat kami mencarikan ojek supaya Abbit bisa lebih dulu ke Ciranjang mencari bengkel sepeda dan mengganti rantai cadangan. Dihitung-hitung mungkin ada kami  membuang waktu 2.5 jam karena insiden rantai putus ini. Menjadi pelajaran untuk punya persiapan spare part lengkap lain kali . Dan  jangan pernah membeli sepeda dengan merek motocross – catatan khusus ini untukmu Bit.

Sementara waktu terus berlalu, pagi yang awalnya cerah setelah siang mulai berubah. Hujan turun dengan deras selepas melewati Cicurug. Meski itu menyebalkan karena jadi tidak bisa sesi selfie, wefie dan dokumentasi. Tapi hujan di saat turing sebenarnya adalah berkah karena mengurangi resiko dehidrasi tinggi jika dibandingkan cuaca terik. Kami terus mengayuh mengindahkan hujan karena toh badan kami sudah panas jadi sampai kuyup disiram hujan pun seharusnya tidak jadi masalah.

Sampai daerah Parung Kuda saya masih familiar dengan jalan raya Sukabumi ini karena jalur resmi ke kantor Unit Pembangkit Salak. Tapi setelah itu adalah daerah baru – dan disitulah kenikmatannya: menyaksikan kehidupan daerah yang baru pertama kali kita singgahi. Ritme sepeda yang pelan adalah momen kontemplasi diri. Seperti sedang berada di semesta Asgard dan Inception. Ketika pikiran kita bebas melompat-lompati waktu, lamunan, sosok dan kenangan sembari menyaksikan kehidupan warga lokal dan otot kaki yang di bawah alam sadar terus fokus mengayuh. Hujan nyaris terus turun selama selama sisa perjalanan kami. Jalur kali ini memang membelah tengah kontur berbukit dengan Gunung Gede di sebelah timur dan Gunung Salak di sisi barat.

10887181_10154975615120184_192572969432005866_o.jpg

Eat, Ride, Pray, Repeat

Lepas dusun Sekarwangi trek semakin menanjak – meski dibuat berbelok-belok untuk mengurangi kecuraman tetap saja kami yang lelah diguyur hujan tanpa henti terseok-seok kepayahan. Semua sibuk mengatur ritme dan memainkan otot agar tidak keram. Seperti siklus touring torture – ya kami memang menamakan aktifitas ini siksa – selalu ada titik perjalanan dimana terlintas pemikiran “ini kita ngapain to syu, enak-enak kelonan sama bini malah turing gowes teu puguh gini”. Pakaian kami selalu basah, kadang oleh keringat lain waktu dibilas hujan. Karena tidak banyak percabangan, kami semakin terpecah – khususnya ketika mulai menuruni bukit Bojong Galing dan papan nama Pelabuhan Ratu muncul dan kontur berubah turun. Dan beberapa waktu selanjutnya, kami semua tenggelam asyik menggauli turunan yang serasa tiada habisnya setelah dihajar tanjakan-tanjakan sedari siang tadi.

Jadwal kami meleset (lagi), karena sesungguhnya ketidakpastian adalah kepastian yang terjamin di setiap turing kami. Tanpa sadar mungkin itu yang membuat kami hanya kapok sambel: the joy of uncertainty, nikmatnya kejutan di setiap ketidakpastian. Adzan maghrib berkumandang ketika kami mulai memasuki pinggiran Pelabuhan Ratu dan hujan turun kembali deras setelah sempat rintik-rintik. Di hutan perbatasan tanpa ada lampu penerangan jalan, sempat tersorot lampu sepeda sekejap manusia dengan brewok sekusai Saddam Husein dan rambut Ras Muhammad yang membuat kami terkesiap. Karena sosok itu diam mematung saja ditengah hutan, hujan dan telanjang. Neyt. Entahlah itu orang benaran atau orang jadi-jadian, kami kompak diam dan blingsatan menambah laju sepeda. Sampai akhirnya memasuki pusat kota Pelabuhan Ratu dan hujan mulai reda. Lega luar biasa karena sudah sampai tujuan dengan selamat, meski meleset tapi ketidakpastian dan pemandangan yang asing inilah kesenangannya.

Pelabuhan Ratu adalah kota kecil dengan atmosfer wisata yang sudah lewat masa keemasannya. Di masa jaya, kota pantai ini menjadi  lokasi favorit  syuting mulai dari serial Warkop sampai belasan film Susana. Sekarang sudah sepi kalah dengan spot-spot instagram masa kini. Rasanya malam itu di Pelabuhan Ratu hampir sekian meter ada saja orang gila, mulai dari yang asyik berak di perempatan jalan sampai yang serius ikut mengantri kedai ayam goreng. Konon Pelabuhan Ratu ini memang terkenal juga menjadi tempat buangan orang gila yang sudah tidak dipedulikan kerabatnya, sama seperti di Sumedang kiriman dari mana-mana. Mungkin di benak orang gila itu juga heran, kenapa ini kota aneh kok banyak sekali orang waras tidak seperti waktu di RSJ. Gila itu perspektif Jon.

1972294_10154977603535184_2283547705285624552_n

BGRPLRT2015

Terlalu lelah, dan terlanjur gelap juga – kami tidak sempat berfoto dengan landmark kota (baca: Gapura Selamat Datang). Segeralah meluncur ke daerah pinggiran pantai yang disesaki hotel melati – dan bersih-bersih lalu istirahat untuk mengembalikan tenaga besok pulang gowes kembali ke Bogor. Penginapan kami malam itu hotel dibawah melati murahan dengan kasur busa tipis yang bulan depan mungkin lebih tepat untuk dijadikan karpet daripada kasur, kamar mandi kloset jongkok yang entah kapan terakhir kali dibersihkan. Untung hujan yang turun membuat hawa dingin sudah cukup menjadi hiburan. Toh memang ini yang tanpa sadar selalu kami nikmati di setiap turing pun pendakian, yang bahkan sudah sejak dari masa SMA muda: the joy of a journey is about its uncertainty. Tsah.

Leave a comment