Itikaf dan Refrain The Upstairs

Menjelang akhir Ramadan, banyak mesjid-mesjid yang justru semakin riuh seolah tak mau kalah dengan mall-mall yang juga menjadi gaduh merayakan midnight sale. Mesjid yang ramai itu tak lain karena ada kegiatan itikaf di sepuluh hari terakhir, sepuluh hari untuk sejenak melupakan dunia.  Seolah tak mengenal pangkat seperti nanti kita semua di akhirat –  mulai dari GM, CEO sampai OB berebutan mengambil cuti agar bisa beritikaf. Mereka yang semangat untuk ber-fastabiqul khairat, sedang berlomba-lomba berbuat kebajikan.

IMG_2526

Itikaf dengan program jadi lebih teratur, ada jadwal-jadwalnya dengan imam hafidz dan kultum

Saya sih masih belajar pelan-pelan, mengenal itikaf pertama kali sewaktu Ramadan tahun 2002. Berawal diminta seseorang yang okeh baiklah kita panggil saja Mawar: “Eh eh mbok koe itikaf to”. Dan saya yang kebingungan: “Itikaf iku opo sih? nek itidal ngerti aku, lak uwis ben dino”. Lalu atas nama modus bedebah: your wish is my command segera saya iyakan untuk mulai mencoba itikaf malam itu juga. Sebenarnya terhitung terlambat baru tahu itikaf di umur kuliah, apalagi melihat anak-anak kecil sekarang yang sudah riang melakukan itikaf diajak orangtua mereka. Tapi rasanya pada masa itu itikaf memang belum ramai benar, belum seramai sekaranglah. Setidaknya belum banyak mesjid-mesjid dengan program itikaf runtun yang dipenuhi jamaah seperti hari ini.

Annur

Mesjid An-Nur Sukabirus. Sekarang sudah tingkat dan bagusan. Posisi simpan keranda tidak terlihat.

Jadilah itikaf pertama itu di sebuah mesjid kecil di pengkolan terakhir Sukabirus sebelum Bojongsoang. Tapi entah karena saya yang salah malam genap atau memang belum umum, jamaahnya sepi atau gak ada sama sekali – saat itu saya beritikaf sendirian. Asli sendirian tok til. Dan hanya bertahan kurang dari 1 jam karena gak konsen terus melirik ngeri-ngeri sedap ke keranda yang (entah kenapa) sedikit tersingkap kainnya di sudut belakang area wudhu. Hajinguk mak. Saya terbirit-birit lari pulang ke kostan sampai segala sejadah dan quran jatuh, sudah seperti adegan lawak murahan di semua acara sahur. Wes ora urusan, prek wae – mau dibilang bulan puasa yang katanya setan pada diborgol juga, tetap saja keder berduaan sama keranda malam-malam.

Pernah juga kalau sedang main ke Dago, itikaf di mesjid daerah Sekeloa yang lebih mendingan. Selain tidak ada keranda seperti di Sukabirus tapi juga lebih ramai. Ada beberapa jamaah meski kebanyakan aki-aki dan nini-nini. Sebaliknya, kalau itikaf di mesjid Syuhada di Jogja yang ramai dipenuhi santri calon hafidz. Kalau kita masih unyu-unyu menargetkan khatam, mereka lebih berkelas: hafal. Para santri yang tertunduk mengangguk-angguk menghafal ayat demi ayat dan juz demi juz, semacam sedang kondisi trance. Terbersit juga rasa iri melihat mereka yang sudah berada di level Zen ini, mereka yang sudah bisa menjalankan konsep: “Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat, kecuali seperti jari telunjuk yang dimasukkan ke laut, lihatlah berapa tetes air yang tersisa” – HR. Muslim: 2858.

Itikaf juga menjadi alasan pamungkas saya ketika menulis surat untuk meminta rekomendasi Dr. Anita Greenhill, ketua jurusan ISOM di Manchester Business School yang waktu itu kebetulan seorang mualaf. Saya protes karena mendapat asrama di Hardy Farm meski itu memang pilihan kedua karena yang paling murah – lalu menyesal kok jauh sekali dari kampus. Asli jauh sak pol-polane. Konon Hardy Farm sekarang ini sudah ditutup, mungkin karena tidak berperikemahasiswaan karena jauhnya yang sak pol-polane itu. Demi untuk mendapat lapak di Grosvenor Palace (GP) atau Grosvenor Street Building (GSB) yang terkenal high-demand dan hot-seat, digunakanlah alasan paling mutakhir dan hakiki: pindah demi untuk bisa beribadah, karena mesjid terdekat dari Hardy Farm hall berjarak 7 km jika dibandingkan mesjid dekat GP dan GSB yang hanya tinggal menyeberang Brook Street. Meski sukses dan disetujui, alasan beritikaf seperti di surat akhirnya menjadi alasan kedok belaka, karena tentu saja tidak ada itikaf di Manchester yang mesjid-mesjidnya selalu dikunci.

IMG_2522

Itikaf kekinian: Es Latte, Powerbank (buat ngecas ‘Alquran’), Fidget Spinner (buat fokus – yeah right)

Sebenarnya saya pribadi lebih suka itikaf yang tidak begitu ramai. Yang sepi, seperti di Bandung pertama kali dulu (ejiyeeeeeh). Sempat sih mendapatkan itikaf yang sepi ketika pindah di Jakarta, di mesjid Istiqomah Kelapa Gading atau mesjid Sunter. Situasi yang sepi dan hening adalah untuk kontemplasi, untuk nangis-nangisan. Ketika semua melintas sekelebat segala muslihat, dosa yang pernah kita buat. Tapi meskipun tadi malam ramai, ternyata tetap bisa sedih juga tuh – terbayang kenapa Chelsea Islan kok mau sama Bastian who si kumis lele itu. Kalau kemarin waktu Raisa sama Hamish ya bolehlah, mereka serasi kok terus terang saja. Memang sih, saya memang bukan bapak ibunya dan tak ada kepentingan. Tapi kenapa harus Chelsea Islan ini ya Allah? Kenapa? Apa rahasiaMu kali ini?

Maaf jikalau tulisan kali ini bernuansa riya atau membuat yang membaca menjadi suudzon riya – bukannya apa-apa. Habis mau bagaimana lagi. Karena setiap kali itikaf di setiap Ramadan, setiap kali itu pula selalu terkenang meski sudah susah-susah disurukkan di sudut ingatan: “eh eh mbok koe itikaf to”

Semua terekam, tak pernah mati (The Upstairs, 2005)

Ngok.

Leave a comment