Haifakansi: Beijing Trip

Saya menyukai sejarah seperti Haifa menyukai Happy Meal. Itu sebabnya saya bisa menikmati trip ke Tiongkok – satu dari negeri dengan sejarah peradaban maju tertua di dunia. Banyak juga yang heran ketika kebanyakan orang (mungkin) lebih memilih Jepang yang heits sekarang. Ditambah lagi persepsi buruk seperti apa negara yang penuh dengan orang cina daratan yang terkenal jorok, kasar dan egois. Sebenarnya sih tak perlu khawatir. Karena kalau anda pernah menjelajah daerah Kali Deres, Pasar Pramuka, Pulo Gadung dan kawan-kawan; tidak sebatas Pacific Place, Grand Indonesia atau Gandaria City – maka anda akan baik-baik saja di Tiongkok.

Shanghai

Nĭ Hăo Shanghai

Tetapi saya tidak menyangka akan kembali vakansi ke Tiongkok selekas rentang waktu dua tahun ini. Semua berawal dari adik residen yang akhirnya ada waktu untuk liburan bersama setelah menyelesaikan pendidikannya. Apalagi di Tiongkok ada Disneyland Shanghai yang saat ini menjadi terluas di Asia dengan kastil paling besar di dunia juga parade fantasi terpanjang di banding Disney resort mana pun – ya sudahlah mumpung Haifa dan sepupu-sepupunya masih memimpikan dunia princess dan lorong-lorong istana.

Disneyland_Haifa

Park Shin Yoon, Zainab Haddad dan Ngatiyem

Belajar dari trip ke Tiongkok sebelumnya saya memutuskan untuk mencari hotel saja bukan Airbnb. Hotel-hotel yang bersih harganya relatif lebih mahal dibandingkan di Indonesia padahal untuk bintang yang sama. Sedang hotel yang murah, melihat foto-fotonya sudah cukup menggambarkan kenapa Airbnb kami dulu bisa begitu buruknya. Tapi ada satu hotel sedang-meriah yang saya rekomendasikan dengan jaringan yang ada di seluruh kota-kota besar di Tiongkok: Ji Hotel. Hanya pastikan ada aplikasi translator terbaik di smartphone anda, karena red note “only for Chinese citizen” di situs-situs reservasi itu semua ada sebab-musababnya – nanti kami ceritakan kenapa.

Ji Hotel ternyata milik rantai hotel Accor yang yang berpatungan dengan perusahaan lokal – wajar kalau interiornya fungsional minimalis kayu-kayu bergaya unfinished tidak norak seperti hotel Tiongkok medioker kebanyakan: berukir-ukir dengan kain mengkilap dan warna-warni yang tabrakan – macam Fortuner Setnov mencium tiang listrik yang menyebabkan benjol sebesar bakpau dan koyak berdarah-darah.

Ji Hotel

Interior Ji Hotel selalu identik di semua kota Tiongkok dengan rate relatif terjangkau

Itinerary kami di Shanghai hanya dua hari Karena memang trip ini khusus untuk anak-anak yang belum sekalipun pernah lengkap vakansi bersama, lalu bertolak ke Beijing setelahnya. Kami pergi ke Disneyland dengan bekal aplikasi Shanghai Disney Resort. Salah sedikit inovasi terbaik dari amusement park di zaman smartphone sekarang adalah adanya aplikasi untuk antrian. Pun tidak ada kuota data atau aplikasi, juga disediakan juga booth-booth untuk mengambil fast pass. Tapi tentu saja dengan aplikasi membuat segalanya jauh lebih mudah, karena fast pass bisa kami ambil kapan dan dari mana saja. Walhasil kami bermain TRON tanpa mengantri, Roar Rapid sambil berlari dan nyaris semua atraksi-atraksi top-must-ride Disneyland Shanghai hari itu. Mungkin ini Disneyland tersepi yang pernah kami kunjungi meski berbeda dengan bayangan  awal kami sebelumnya – cerita-cerita tentang Disneyland Shanghai yang begitu padat, kotor dan rusuh.

Disneyland

Disneyland Shanghai, memiliki kastil terbesar dari semua Disneyland Resort saat ini

Berbeda dengan Disneyland lain, Disneyland Shanghai anehnya memperbolehkan pengunjung membawa makanan dari luar. Mungkin mereka pasrah akan kultur bekal dan hemat ala Tiongkok yang kuat. Saya menyaksikan bahkan banyak yang membawa termos air panas macam dulu piknik masih jamak di Taman Mini akhir 80an. Ada yang membawa lauk pauk dan mengupas telur rebus. Hanya tikar saja yang tidak mereka gelar. Kami menyesal juga tidak tahu aturan ini, bukan karena makanan di dalam yang tidak halal tapi juga harga yang berlipat-lipat lebih mahal.

Motor_Listrik

Tiongkok sudah melarang motor roda dua di kota-kota besarnya, harus bertenaga listrik

Prosesi ibadah Disneyland selesai juga malam itu, meski tidak ada parade disebabkan hujan, tapi untungnya anak-anak tetap puas karena semua tokoh Pixar sudah muncul di parade jadwal siang sebelumnya. Selanjutnya kami bertolak dari Shanghai menuju Beijing menggunakan kereta peluru rasa Tiongkok. Ini menjadi kali ketiga saya ke stasiun Hongqiao Shanghai dan masih saja takjub bercampur heran. Seperti halnya semua stasiun kereta di Tiongkok, selalu dibangun masif dan super besar – bahkan lebih besar dari Terminal 3 Soetta padahal ini hanyalah stasiun kereta. Langit-langitnya begitu tinggi sampai 100 meter dengan 30 platform menjadikannya stasiun kereta terbesar di Asia. Saya pernah melihat di National Geographic stasiun kereta di Tibet yang relatif sepi pun dibangun sama besarnya. Mungkin ini salah satu  pencitraan propaganda khas komunis seperti juga di Vietnam dan Korea Utara – gedung pemerintah haruslah megah.

IMG_0386

Stasiun Hongqiao dengan 30 platform, langit-langit tinggi lepas tanpa manfaat ruang

Jika anda memang ada rencana untuk menggunakan kereta, sebaiknya tiket sudah dibeli jauh-jauh hari. Memang jaringan kereta Tiongkok padat, dimana hampir di setiap jam selalu ada kereta. Tapi ingat ada 1.5 milyar penduduk di Tiongkok, anda tidak akan kehabisan sih tapi jadi membuang waktu ketika harus menunggu sekian jam untuk kereta berikutnya dengan kursi duduk yang masih tersedia.

Kereta

Kereta peluru Tiongkok, relatif bersih – hanya saja boleh makan minum berkebalikan dengan Shinkansen Jepang.

Jangan anggap remeh produk Tiongkok, meski Jepang merupakan pionir kereta peluru tapi jaringan rel kereta peluru terbesar di dunia ada di Tiongkok ini. Membentang tinggi hingga ke Tibet, lalu ujung barat Kashgar hingga melesak utara jauh ke Harbin yang sudah dekat perbatasan Rusia. Shanghai Beijing sejauh 1000 km kami tempuh dalam waktu 4 jam. Sedikit lebih lambat dibanding pesawat udara tapi jelas jauh lebih cepat dibandingkan Senja Utama jurusan Bandung Jogja.

Haifa_Lompat

Aisha, Haifa, Deeja, Jingga. Barang siapa yang bisa memberikan cucu laki mendapat tiket pesiar ke Alaska kata Opa dan Oma

Menyandang status Ibukota, Beijing kalah metropolitan jika dibandingkan dengan Shanghai. Tapi Subway Beijing lebih tua 24 tahun dari Metro Shanghai. Ketika kami turun di stasiun Chaoyangmen yang termasuk lintasan line 1 – line pertama Subway Beijing – suasana vintage komunis kamerad dengan interior yang kaku, datar dan kasar terasa benar. Berbeda dengan stasiun-stasiun Metro Shanghai yang serba modern, aura di Chaoyangmen seperti sedang berada di Korea Utara yang saya tonton di The Interview-nya Seth Rogen. Wajar karena line 1 ini memang dibangun ketika ketua Mao masih memimpin Tiongkok dengan politik pintu tertutup serupa Korea Utara sekarang.

Beijing_Subway

Chaoyangmen Line 1, Line subway pertama di Tiongkok diresmikan sejak tahun 1969 – Soeharto masih sibuk memikirkan Repelita 2 untuk mengamankan kekuasaannya

Kami menginap di daerah Chaoyangmen yang hanya berjarak 100 meter dari pintu keluar H. Bersebelahan dengan Madrasah – ya Madrasah untuk muslim Tiongkok – di area Chaoyangmen dan Dongsi ada banyak kedai makanan halal meski tidak sebanyak di NiuJue – kantong muslim ternama di megapolitan Beijing. Ada sebuah kedai yang sudah bergaya fastfood restoran waralaba ayam ternama tapi khusus sajian halal. Sapi lada hitam dan ayam sechuan-nya enak sekali. Entah benar enak atau lidah kami saja yang sudah baal di hajar masakan halal XinJiang penuh semerbak jinten sejak dua hari di Shanghai. Kalau saja Pak Dudung mau membuka cabang Sop Kambing disini, yakinlah saya pasti akan laku keras – masakan XinJiang cenderung monoton bumbu sebatas bermain-main di jinten dan bawang putih.

Malang tak dapat ditolak untung tak dapat disikat, semua kamar yang sudah kami pesan ternyata sudah expire dan laku karena tidak ada pemberitahuan late check-in. Cuk biangane, sekali-sekalinya lupa lapor late check-in akhirnya kejadian juga. Padahal saya paling detail mencentang opsi ini di setiap reservasi akomodasi.

Ji Beijing

Ji Hotel di Chaoyangmen Beijing, kamarnya jauh lebih luas di bandingkan yang di Shanghai tapi sama bersih-nya

Bersusah payah kami meminta tolong ke Cici Resepsionis untuk dicarikan kamar pengganti apa saja – kalau perlu di hotel terdekat pun tak mengapa. Sudah bukan menggunakan bahasa tarzan lagi, bahasa kalbu pun kami mainkan. Kendala komunikasi di Tiongkok sebenarnya bukan hanya masalah bahasa, tapi juga aksara. Tidak semua orang bisa membaca huruf latin – atau istilah mereka Piyin –  karena itu situs Agoda atau Booking menegaskan hotel-hotel khusus bagi warga Cina daratan saja. Akhirnya kami dapat juga 2 kamar kosong untuk rombongan 3 keluarga ini pada pukul 2 pagi, dengan harga nyaris 2 kali lipat bookingan awal. Apa boleh buat, terpaksa kami ambil juga. Agak gondok sebenarnya, tapi kita nikmati saja toh ketidakpastian inilah yang membedakan traveling dengan liburan. Untung saja anak-anak tak ada yang merengek tetap ceria malah asik cekikikan bercanda di lobby, tidak tahu ayah-ayah mereka sudah kuatir tidak akan mendapat kamar dan entah dimana mencari hotel pengganti pada pukul 2 pagi di kota yang mayoritas warganya tidak bisa berbahasa inggris bahkan membaca huruf latin.

Akhirnya kami masuk kamar juga dan segera berusaha tidur, sudah pukul 3 pagi karena insiden kamar hangus tadi. Wǎn’an 晚安 Beijing – Selamat Malam Beijing, besok kami ukur habis-habisan kau.

Leave a comment