Haifakansi: Saigon Trip

Saya sempat membayangkan Vietnam adalah bentang sawah pedesaan. Dengan Vietcong militan menyamar penduduk dan selalu bisa menghilang untuk merepotkan serdadu Amerika. Begitu yang menempel di ingatan serial Tour of Duty awal 90an di RCTI. Tapi Vietnam hari ini adalah naga kecil yang berlari. Negara dengan porsi belanja infrastruktur terbesar kedua di Asia setelah Cina. Dan kami menjelang sah menjejaki negeri ini, seiring mendaratnya pesawat Airbus A320 di bandara Tan Son Nat.

15578416_10157819907575184_77159345858841475_n

Bui Vien Area Pelancong Ransel

Ho Chi Minh City atau dahulu bernama Saigon adalah kota terbesar di Vietnam. Meski bukan ibukota negara. Sepanjang perjalanan bus dari bandara, pemandangan monoton ruko dan rumah dengan lebar kavling kecil-kecil yang nyaris seragam. Apa karena ini negara komunis, dimana tanah dikuasai negara. Kami bermalam di Bui Vien di distrik satu. Saigon dibagi-bagi berdasarkan distrik bernomor, malas mereka mencari-cari nama kecamatan. Semakin ke pinggiran suburban semakin besar angkanya. Jadi praktis. Bui Vien sendiri daerah pelancong beransel sekaligus lokasi paling strategis untuk menyusuri pusat kota. Hampir semua must-see, must-eat dan must-visit bisa dijangkau cukup dengan berjalan kaki.

15109508_10157669378670184_6555437527222843214_n.jpg

Trotoar Lebar Bebas Pecel Lele

Sama panas-nya dengan Jakarta dalam skala yang lebih kecil. Tapi Saigon lebih tertata. Mungkin karena ukurannya. Jakarta yang sudah terlampau besar dan limbung. Trotoar mereka sudah lebar dan cukup steril. Ruang terbuka publik juga banyak bertebaran macam di negara maju. Apalagi daerah Dong Khoi yang kental dengan arsitektur dan fasad khas kolonial Perancis. Hanya lalu-lalang kendaraan yang di dominasi motor jauh lebih padat dan menantang. Coba bayangkan Kali Malang di suatu senin pagi hari. Di Saigon ini ibaratnya seluruh jalanan adalah Kali Malang senin itu setiap hari. Lumayan hanya untuk menyeberang jalan saja. Bahkan sampai ada berbagai sharing tips, trik, vlog manual, wikihow dan SOP untuk menyeberang jalan di Saigon yang tersebar di berbagai situs travelling.

15492462_10157819908080184_5465923362378652778_n

Saigon Lautan Crane

Saigon dalam transisi menuju kota Metropolis, ditandai dengan puluhan crane yang tekun mencakar langit. Berbeda dengan Jakarta di awal masa kemerdekaan. Masa ketika Soekarno membabi-buta menghancurkan gedung-gedung dan berbagai landmark aikonik peninggalan Kolonial Belanda. Saigon sebaliknya. Mereka justru menjaga betul area bangunan heritage dan kota tua. District bekas kolonial Dong Khoi menjadi daerah paling elite lokasi butik-butik dan jaringan hotel internasional. Mereka juga sedang membangun subway, dengan konsorsium Jepang. Meski sesama negara komunis tapi bisnis adalah bisnis. Vietnam rupanya enggan pula memilih teknologi Tiongkok. Tidak seperti kita yang mempercayakan Tiongkok untuk proyek kereta peluru Jakarta Bandung. Eh.

15068353_10157668017365184_5211235567899484546_o

Kota Tua Saigon – Daerah Elit

Di proliman alias simpang lima di ujung Bui Vien adalah Benh Tanh. Sebetulnya hanya sebuah pasar besar. Semacam Tanah Abang dengan rasa Beringharjo di Jogja atau Pasar Klewer di Solo. Tapi entah bagaimana bisa menjadi magnet untuk turis baik lokal, asia atau pun barat asing. Mungkin karena lautan kuliner atau bisa juga karena barang pernak-pernik murah meriahnya. Dari Benh Tanh kita bisa berjalan kaki ke Balaikota dengan trotoar yang teduh.  Di depan Balaikota ada plaza luas sepanjang satu kilometer yang menjadi ruang publik bebas kaki lima. Bersih. Dimulai dari gedung Balaikota sampai ke ujung area pesisir sungai Dong Nai. Iri juga melihat Saigon yang punya banyak ruang publik yang terawat. Sedang kita baru terpikirkan dan dirintis ketika era Jokowi menjadi Gubernur Jakarta. Eh lagi.

15541588_10157825986935184_5978730135791742853_n

Kantor Pos Besar – Spot Turis Yang Fungsional

Selain gedung-gedung kolonial peninggalan Perancis, Saigon juga merawat gedung-gedung Post Modernist-nya. Tidak seperti kita yang gemar sekali menghancurkan atau setidaknya menutupi dengan casing alumunium norak. Terakhir yang saya tahu gedung BPS di depan Passer Baroe dan Kementrian Agama di Thamrin.

15042060_10157667688065184_5719231299702537036_o

Notre-Dame Edisi Saigon

Dari Dong Khoi kita bisa melanjutkan ke sisi timur, kembali menyusuri pusat kota. Menyaksikan Notre-Dame Cathedral yang konon seluruh materialnya dikirim langsung dari Perancis.  Persis di seberangnya, ada Central Post Office yang megah dan masih berfungsi normal sebagai kantor pos hingga kini. Hebat juga kalau dipikir-pikir. Mereka bisa mengemas pasar dan kantor pos biasa saja menjadi ikon must-visit dan pada saat yang sama tetap beroperasi normal. Trotoar yang lebar dan rata membuat perjalanan trolling kita nyaman. Ini kali pertama traveling dengan Haifa tanpa membawa stroller. Juga dengan Marissa tanpa mendorong koper. Meski akan menjadi yang terakhir. Para wanita ini menyesal melancong dengan ransel sepertinya. Kapok pok.

15578726_10157819908175184_2125617992744655413_n (1)

Kerabat Dekat Gemblong

Sembari menyaksikan detak kehidupan lokal, kerumunan warga Saigon yang jongkok menyeruput Pho dan menyesap Ca Phe Su. Semua orang minum kopi di Saigon ini. Bisa lebih dari dua gelas sehari. Pagi hari mereka sesap Ca Phe hangat, menjelang siang seruput Ca Phe Shu dingin, malam dicecap Ca Phe hangat kembali. Meski biji kopi Vietnam tidak seberagam biji  kopi kita, jauh – monoton beraroma coklat. Tapi tahukah kalau Vietnam adalah produsen kopi nomor 2 dunia sementara kita di nomor 4? Ajaibnya Vietnam bisa sejalan tetap menjadi eksportir nomor 2 terbesar, sedang kita melorot menjadi nomor 7. Dan entah-entah darimana ihwalnya Jerman, Itali dan Swiss bisa pula menyelak menyeruak menjadi negara eksportir kopi tanpa pernah memiliki perkebunan kopi. Kopet, ora mutu blas.

Puas dengan sajian arsitektur kolonial, dari putaran Notre-Dame kami menyeberang ke area Independence Palace yang luas dan teduh. Sebagai pemenang perang Vietnam, terasa sekali kebanggaan mereka di musium ini. Ketika Amerika dan sekutunya seenaknya menamakan Kejatuhan Saigon. Tentu dari perspektif kubu Komunis melihatnya sebagai usaha Pembebasan Saigon.

15492626_10157819908240184_519659443564984368_n

Bangsa Yang Besar, Yang Menghargai Pahlawan dan Sejarahnya

Apapun, yang jelas sekarang Vietnam sedang berlari sprint macam Usain Bolt di Olimpiade London 2012. Baik pembangunan fisik dan juga manusianya. Mereka peringkat 4 dunia untuk urusan pendidikan, bahkan diatas Amerika Serikat. Dan ya tentu saja jauh-jauh sangat diatas kita. Tampak jelas lagi kalau dilihat dari prestasi olahraga. Saya berteori semakin maju dan makmur negara maka semakin maju pula olahraganya, dan sebaliknya: semakin gaduh riuh lelet polemik negaranya, semakin lontong pula prestasi olahraganya. Vietnam per hari ini peringkat dua di perhelatan Sea Games di Malaysia, negeri dengan 95 juta penduduk atau kurang dari setengah penduduk Indonesia –  yang masih di peringkat 5 yang bahkan dibawah negara selebar daun kolor Singapore. Lagi-lagi kopet.

15589528_10157825986475184_2561913043321352106_n

Bus Ke Muine

Untuk makanan, bagi yang muslim memang terbatas meski bukannya tidak ada. Karena di sebelah Benh Tanh ada ruas jalan penuh dengan toko kain, pakaian dan restoran muslim ー didominasi pendatang dari Malaysia. Sedangkan untuk mereka penggemar sapi cebol, Saigon adalah surga. Segala macam kudapan ringan dan berat sepertinya tak lepas dari bahan baku sapi cebol ini.

15541332_10157819918610184_6324689831364163438_n

Surga Sapi Cebol

Kami tidak berlama-lama di Saigon dan sengaja tidak memasukan wisata tunnel dan sungai mekong yang menghabiskan hari. Sejak awal hanya penasaran dengan warna unik denyut kota Saigon dan perihal kabar bagaimana negeri ini sedang berlari. Besoknya kami akan menggunakan bus untuk pergi ke Mui Ne yang terkenal dengan bukit-bukit gumuk pasirnya. Sebelum nantinya melanjutkan ke kota Dalat – noktah mahakecil di perjalanan sejarah NKRI ketika dulu Soekarno dan rombongan bernegosiasi dengan Jendral Terauchi. Kelak, perjalanan darat bus ini menarik, melalui jalan tol mungil dengan kendaran yang patuh tegak dengan rambu kecepatan. Kampung nelayan ala Indramayu dengan perahu-perahu mangkok yang konon trik untuk menghindari pajak perahu kolonial Perancis dahulu. Bukit-bukit gumuk pasir sejauh-jauh mata memandang seperti di El Paso, lalu tiba-tiba seperti sedang di daerah Cadas Pangeran lepas Sumedang.

Gặp Bạn Sau! Sampai di posting berikutnya cerita tentang Dalat.

Leave a comment