Darurat Taman Nasional

Foto di Instagram itu sesosok perempuan yang sedang menghadap gunung Barujari, memunggungi kamera, berkudung selembar kain ikat rote dan topi panama dengan komposisi warna gradasi jingga merah langit sore khas Rinjani – ciamik dan wow sekali.

Kita bisa menemukan ribuan pose punggung serupa di berbagai media sosial, pose punggung adalah antitesis pose selfie. Ketika selfie bagaimana agar muka kita mendominasi, pose punggung justru sebaliknya – padahal manusia tidak bisa dibedakan hanya dari bentuk punggung, toh tidak masalah yang penting sah sudah pernah kesini. Cekrek.

sampah_gunung_gede

Sampah di Surya Kencana Gunung Gede

Fenomena berkegiatan outdoor adalah keramaian shopping mall hari ini, para pemuda-pemudi memenuhi gunung, bukit, pantai, laut yang dulunya – pernah – sunyi. Tapi kalau di mall ada petugas kebersihan yang siap merapikan baki makan KFC, sedangkan di alam luar nanti tidak ada. Masih banyak yang lupa akan hal ini. Dan kealpaan itu menjadi masalah ketika beraktifitas di alam luar tapi masih dengan mental anak mall: meninggalkan segalanya. Karena sampah-sampah bekas bungkus mi instan, sachet kopi, wadah air minum akan selalu berada disana selamanya. Ok ok, tidak selamanya sih tapi antara 50 sampai 100 tahun sebelum bisa terurai. Saya tidak menuduh semua pengunggah foto punggung jalan-jalan pastilah mereka yang meninggalkan sampah. Tidak ada maksud generalisasi seperti itu, gak gitu. Tapi fenomena my trip my adventure ini, suka tidak suka ikut berkontribusi terhadap meledaknya tumpukan sampah di gunung, pantai, pulau dan berbagai taman nasional kita akhir-akhir ini.

sampah_semeru

Sampah di Ranukumbolo Gunung Semeru: Asu tenan

Ini logika matematika sederhana: Pertambahan jumlah pengunjung juga akan menambah volume tumpukan sampah. Semisal, Gunung Semeru yang sudah ada sejak dahulu kala bahkan sebelum 1838 sewaktu Clignet – Geologis berkebangsaan Belanda – mendakinya pertama kali. Begitu juga Rinjani, Prau, Kerinci, Merbabu, Merapi dan semuanya. Bahkan ketika saya mendaki Semeru pertama kali tahun 1998 dulu, saking masih sepinya bahkan kami dan semua pendaki waktu itu bisa saja bermain sepakbola di pesisir Ranukumbolo, begitu lengang. Cobalah bandingkan dengan kondisi sekarang, bagaimana padatnya tenda-tenda di Ranukumbolo. Penikmat gunung 90an memang sih relatif tidak ramai, khususnya setelah melewati masa booming pertama di tahun 80an – periode Jokowi dan Ahok muda yang masih mendaki gunung. Jumlah pendaki masa kami muda, relatif masih sedikit – jadi seburuk-buruknya, volume sampah yang ditinggalkan tidak akan menggunung seperti sekarang ini. Bukan berarti di masa lalu para pendaki bebas membuang sampah sih, sekadar contoh rumus matematika sederhana di atas tadi saja.

 

ranukumbolo

Ranukumbolo 1998, Om Masih Muda Belia

Tapi apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi sampah gunung ini? Cukup dengan nasehat, himbauan, baliho? Kalau untuk tidak melanggar rambu lalu-lintas saja masih sulit, motor naik ke trotoar masih mayoritas, melawan arus masih biasa, berhenti di belakang marka beresiko tinggi diklakson tiada henti. Jadi apakah mungkin cukup dengan menghimbau para pengunjung? Apakah ada pengaruhnya memasang baliho besar dengan pesan “Dilarang membuang sampah sembarangan, Ttd: Pengelola” di gerbang masuk taman nasional? Lalu berharap para pendaki atau pengunjung yang melihat baliho tersebut patuh membawa turun sampah-sampah mereka? Tentu saja tidak, dan disitulah fungsi negara, salah satu tugas pemerintah. Sebab negara itu ada untuk menutup sejarah manusia gua – harus diakui di Indonesia sini masih banyak ‘manusia gua’. Negara ada ya untuk mengatur kita warga yang berkerumun ini bisa berbaris, menjadi teratur. Negara ada untuk eskalasi hukum ketika moral dan etika para ‘manusia gua’ sudah tidak bisa diharapkan.

Sampah Rakum

Botol-botol yang seharusnya ringan untuk dibawa turun

Karena itu selayaknya Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang membawahi Balai Taman Nasional mulai berbenah. Manajemen Taman Nasional seharusnya sekelas manajemen Taman Disneyland, profesional bukan cuma tukang stempel. Karena menjaga hutan itu lebih dari sekadar menjaga robot-robot rupa mekatronik yang bisa diperbaiki dan diganti kapan saja. Tapi tidak dengan sabana, sungai dan hutan yang terlanjur rusak kalau tidak hancur. Petugas Taman Nasional setiap pos pendaftaran harus memiliki SOP yang bisa mengontrol tabiat para pendaki. Tidak cukup hanya dengan menyediakan buku pendaftaran dan memberikan karcis. Saya membayangkan SOP di setiap pos pendaftaran kira-kira seperti ini:

  1. Pendaki harus membongkar ranselnya lalu menyusun perlengkapan terutama barang habis konsumsinya. Bagaimana kalau mereka menolak karena repot, atau malas? Brur, mau naik gunung tapi masih malas dan repot? Syarat ini sekaligus screening siapa yang ingin mendaki sebenar-benarnya atau siapa yang banci media sosial mental anak mall berkedok pendaki.
  2. Setelah disusun, petugas mengambil gambar foto dari posisi atas – itu tuh yang ala-ala food blogger mengambil foto tegak lurus dari atas. Toh sekarang smartphone dengan kamera sudah murah dan mudah didapat, pun KLHK bisa menyediakan juga untuk para petugasnya.
  3. Bekali plastik sampah besar untuk masing-masing pendaki. Kalau perlu jadikan salah satu syarat untuk mendapat izin pendakian.
  4. Ketika turun untuk lapor ulang nanti, keluarkan plastik sampah bekal dari pos tadi masing-masing, susun sampah seperti ketika di awal mendaftar tadi. Tidak harus sama persis sis, dan identik – toh mereka sudah membawa turun 1 plastik sampah (pun itu sampah orang lain pun tak jadi masalah).
  5. Kalau tidak patuh, terapkan denda yang besar – sita dan rusak ranselnya, konon pendaki paling takut kehilangan ransel daripada kehilangan kekasih.
  6. Biaya masuk taman nasional janganlah terlalu murah, jangan sekadarnya saja. Bandingkan biaya masuk untuk mendaki Kinabalu di Malaysia yang bisa mencapai 4 juta per orang (sudah lengkap dengan akomodasi dan makan) dengan tarif Rinjani yang 12 ribu rupiah saja (tahun 2013). Anak-anak itu bisa membeli KFC seharga lima puluh ribu, ransel ratusan ribu jadi tak usah khawatir. Pun mereka yang betul-betul niat mendaki, bisa menabung kalau perlu. Retribusi yang mahal ini sekaligus bisa menjadi insentif untuk para petugas agar mereka lebih berdedikasi dalam menjalankan SOP nanti.
  7. Kuota, gunung wajib memiliki kuota – terakhir Rinjani kumuh rusuh karena petugas yang selalu meloloskan berapa pun jumlah pendaki yang datang. Kalau tidak salah baru Gunung Gede dan Pangrango yang menerapkan sistem kuota dan pendaftaran jauh hari melalui internet.

 

orang_gila

Pacaran di Gunung, Maling Bunga, Buang Sampah

SOP diatas ini hanya contoh sok tau saja, yang penting proses kerja petugas di Pos Taman Nasional harus diperbaiki tidak lagi hanya sekadar duduk santai mencatat nama, nomor telepon dan alamat di buku tamu lalu sudah terserah. Lah kok mudah betul ya izin masuk ke taman nasional. Kalau Everest yang sulit izinnya saja masih bermasalah dengan sampah, apalagi gunung-gunung disini yang tidak kurang diatur dan ditata. Jangan sampai terlambat seperti rusaknya sungai-sungai di Jawa yang ketika parah baru dikeluarkan aturan dan undang-undang.

Panjang umur gunung-gunung Indonesia.

Leave a comment