Tambora Pora: Pra Daki

Tahun itu adalah tahun yang buruk untuk industri minyak dan gas bumi. Harga minyak dunia amblas tak tanggung-tanggung ke titik terendah 38 USD per barel. Tak sedikit usaha hulu yang gulung tikar, sedang perusahaan seven sisters melakukan penghematan ekstrim dan reorganisasi ulang. Walhasil banyak kawan yang datang dan pergi menentukan jalan hidupnya masing-masing. Maka 2016 ini terancam tidak akan ada pendakian – setelah sejak 2012 perkumpulan rahasia rukuk gunung rutin menunaikan ibadah gunung mulai Rinjani di Lombok sampai terakhir Kerinci di Jambi.

Tambora_2

Pototano yang panas dan kering kerontang

Akhirnya ada juga kawan yang mengajak untuk mendaki Tambora di Sumbawa bersama dengan kawannya dari kawannya pula – 1 dari Jakarta dan 1 dari Makassar, jadi total kelompok kami berjumlah 4 orang.

Lokasi gunung Tambora serba tanggung, jauh dari Bima dan lebih jauh lagi dari Mataram yang sudah berbeda pulau. Kami memilih titik Mataram hanya karena harga tiket pesawat yang lebih murah disebabkan frekuensi penerbangan yang tinggi dibandingkan ke Bima. Dari bandara Praya kami langsung menuju ke Kayangan untuk selanjutnya menyeberang menggunakan Feri tujuan Pototano di pulau Sumbawa. Menjelang pelabuhan Pototano tampak di sisi utara adalah pulau Kenawa – pulau kecil spot tujuan ritual jamaah instagramiyah aliran pose hadap belakang. Ingin rasanya mampir barang sekejap tapi kami punya jadwal dan desa Pancasila di kaki Tambora masih teramat jauh.

Tambora_4

Berangkat Bray

Turun di pelabuhan Pototano, mulai terasa kondisi alam Sumbawa yang berbeda jika dibandingkan Lombok: lebih panas dan lebih gersang. Dari Pototano kami melanjutkan perjalanan darat ke Calabai, kawan dari Makassar menunggu disana. Coba saya tengok-tengok di Google Map, innalilahi jarak ke Calabai masih 260 km lagi – itu pun ditambah 100 km untuk ke kaki gunung Tambora. Sempat terbersit rasa menyesal, kenapa tidak membeli tiket ke Bima saja yang lebih mahal tapi menghemat waktu.  Avanza butut kami membelah jalan lintas Pototano-Calabai yang relatif mulus, tidak seperti jalan protokol Sudirman di Ibukota.

Sepanjang perjalanan, hamparan ladang jagung terbentang sejauh mata memandang. Tampaknya jagung kuealiteit unggul dengan bulir besar dan gemuk, warna yang pucat pertanda manis. Kami rehat sebentar di kota Sumbawa Besar. Ada kedai kopi seduh milik sopir kami berkongsi dengan kawan-kawannya. Sekalian membayar sholat dan menyesap kopi Robusta Tepal yang sedang mereka gadang-gadang untuk menjadi andalan alternative Sumbawa selain jagung. Bercakap-cakap dengan barista dan skena kopi Sumbawa Besar. Menjelang waktu maghrib, kami melanjutkan lagi perjalanan meninggalkan Sumbawa Besar. Kami sampai di Calabai ketika hari sudah gelap dan rombongan bertambah satu orang untuk lanjut kembali ke arah barat menuju desa Pancasila di kaki gunung Tambora. Secara titik spatial, sebenarnya lokasi gunung Tambora lebih dekat dari Pototano tadi. Hanya karena terpisahkan lautan, terpaksa harus memutar mengikuti teluk Saleh.

Tambora_3

Robusta Tepal

Desa Pancasila merupakan salah satu akses masuk pendakian Tambora yang populer dibandingkan Doro Peti dan Doro Ncanga. Di kepung perkebunan kopi dan sinyal 3G yang buruk, yang bisa dilakukan hanyalah bercakap-cakap karena gawai tanpa sinyal tidak banyak manfaatnya. Basecamp untuk registrasi pendakian sekaligus pondok berlokasi di sisi lapangan satu-satunya desa Pancasila. Pondokan ini dimiliki  Pak Saiful Bahri yang ramah. Tahun lalu desa Pancasila menjadi tuan rumah peringatan 200 tahun letusan gunung Tambora dengan tagline “Tambora Menyapa Dunia”. Pak Saiful mengisahkan betapa tahun lalu itu ramai sekali, begitu ramainya lapangan di depan ini penuh dengan pelancong dan peserta.

Tambora adalah salah satu gunung yang bersejarah dalam catatatan peradaban manusia. Letusannya menyebabkan Napoleon Bonaparte kalah. Abu letusan Tambora membuat musim dingin lebih panjang yang menghambat pergerakan artileri Napoleon terjebak lumpur medan tempur yang awalnya diprediksi kering. Wajah dunia hari ini mungkin akan berbeda jikalau saja Napoleon Bonaparte menang ketika menginvasi Rusia itu: afiliasi negara Eropa, Inggris Raya yang lemah bahkan mungkin Adolf Hitler tetap menjadi pelukis di Vienna. Kemelut kabut abu letusan Tambora juga memaksa Baron von Drais merancang sepeda pertama di dunia, karena kurangnya jumlah kuda yang pada masa itu menjadi transportasi utama – banyak kuda mati kekurangan pangan sebab panen gagal di seluruh Eropa. Kerusuhan menyeruak oleh masyarakat yang lapar dan menjadi brutal. Mary Shelley mulai menulis Frankestein, terbawa suasana sendu dan bosan terjebak di dalam rumah akibat musim dingin yang berkepanjangan. Begitulah rupa periode pasca letusan Tambora yang mahsyur dikenal dunia sebagai “Year without a summer”.

Tambora_5

Jalur Doro Peti susah air, jalur Pancasila masih lanjut terus

Selain rombongan kami pagi itu, ada satu orang turis asal Jerman yang juga akan mendaki gunung Tambora. Mengaku bernama Andreas yang sengaja mampir Tambora sehabis dari pulau Sawu mengunjungi Pastur Austria di pulau Sawu yang konon sudah 40 tahun tak pernah pulang. Kisahnya, Pak Pastur – saya lupa namanya – senang sekali dikunjungi Andreas setelah bertahun-tahun lamanya tidak bertutur kata Jerman. Sebab pulau Sawu di ujung sisi timur Sumba itu jauh sekali. Dari kaki gunung Tambora ini mungkin bisa tiga hari perjalanan darat dan laut. Dari pelabuhan Sapee menyeberang dulu ke Labuan Bajo, lalu menyeberang lagi ke Waingapu sebelum menyeberang perjalanan kapal satu hari penuh untuk baru bisa sampai ke pulau Sawu yang kecil di sisi timur Sumba.

Tambora_1

Andreas Bule Bonek

Andreas ini bule berkantong pas-pasan sepertinya – Pak Saiful sudah memperingatkan: “Banyak ya Mas, bule yang naik tapi gak modal apa-apa, nanti di atas tiba-tiba ikut nebeng makan minum sampai tenda”. Kelak benarlah yang dikatakan Pak Saiful ini, bahkan Andreas pun sempat meminjam uang kami untuk naik ojek yang dia janjikan akan diganti nanti di Dompu. Sebenarnya saya tidak ada masalah untuk berbagi. Tapi kalau praktik itu sudah menjadi fenomena jadi curiga jangan-jangan di Tripadvisor memang benar ada tips naik gunung murah di Indonesia – negeri silau bule – dengan modal dengkul.

Pada akhirnya pagi-pagi sekali kami pun siap berangkat – keril sudah diikat, sekrup kaki sudah dikerat, ojek untuk ke gerbang Pos 1 sudah menunggu di depan pondokan. Loh kok ojek? Ya sama seperti halnya dulu pendakian Rinjani, dimana perjalanan dari basecamp ke pintu masuk yang bisa memakan waktu tiga hingga dua jam: Naik ojek adalah kunci, sedangkan uang bisa dicari – dont rich man difficult.

Ngeeeng.

 

 

Leave a comment