Tuan Frans

Siapa di antara kita yang tidak mengenal Frans Kaisiepo?

Saya. Saya termasuk yang baru mendengar. Bahkan mengetik namanya di blog ini pun seringkali silap, antara Kaisiepo dan Kaisipeo.

Karena itu saya mencari tahu dengan metode paling mudah di era teknologi informasi masa kini: Google. Beberapa yang lain memilih mengolok-ngolok dan bangga atas ketidaktahuannya. Benarlah nasihat Einstein yang lampau: That only two things are infinite, the universe and human stupidity.

image

Sebenarnya tidak aneh kalau memang banyak yang tidak tahu. Kebanyakan kita familiar dengan pahlawan yang ‘itu-itu’ saja. Biasanya karena nama pahlawan tersebut menjadi nama jalan yang rutin dilalui setiap hari. Semakin tidak aneh karena penyacat diatas bisa jadi generasi yang tumbuh besar di masa keemasan ORBA. Dimana sejarah hanya urusan tanggal, tahun dan nama-nama tokoh. Tahun berapa perang ini, kapan agresi itu, siapa pahlawan dari daerah anu, tanggal perjanjian inu dan semacamnya. Kurikulum PSPB, IPS, dan sejarah ala ORBA sering melewatkan apa yang dipikirkan Sjahrir. Bagaimana pertempuran nekat Yos Sudarso. Mengapa Hasanuddin murka. Seperti apa dialektika debat hebat Soekarno dengan Hatta. Muslihat negosiasi di Dalat. Bagaimana rumitnya diplomasi di perjanjian Linggarjati dan semacamnya. Iya to?

Setelah googling ternyata tidak begitu banyak sumber resmi kisah Frans Kaisiepo. Meskipun sedikit tapi kisah beliau luar biasa. Begitu luar biasa, rasanya kurang ajar kurikulum sejarah ORBA yang tidak pernah menyinggung sejarah pergerakan nasional awal di tanah Papua ini. Bahkan jauh sebelum Trikora.

Rupanya pertengahan 1940an adalah tahun-tahun munculnya kaum terpelajar pribumi di Papua. Mereka ini lulusan sekolah pamong praja Bestuurschool di Hollandia– sebelum bernama Jayapura. Bayangkan bagaimana di atas rata-ratanya mereka – pada masa itu. Mayoritas masih berkoteka sedang mereka sudah fasih berbahasa Belanda. Berdebat diskusi. Membaca Nietzche dan Karl Marx. Meskipun hasil didikan sekolah Belanda, walaupun berbeda ras dan warna dengan ‘jawa’ – para alumni awal ini sudah merasa Indonesia. Frans Kaisiepo bersama Silas Papare, Mathen Indey dan kawan-kawan mendirikan Partai Kemerdekan Indonesia Irian atau Partai Indonesia Merdeka pada tahun 1946.

Ini adalah sakit gila Frans nomor 1: Ada opsi karir hidup nyaman menjadi pejabat di depan mata. Tapi memilih bergabung berjuang dengan Indonesia lengkap segala pengibaran bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya. Sakit gila nomor 2 yang lain: Menolak menjadi ketua delegasi Nederlands Nieuw Guinea di Konferensi Meja Bundar karena itu akan menguatkan negara boneka Belanda – Frans dipenjara 7 tahun atas pembangkangan ini. Rasa kebangsaan Frans Kaisiepo dan kawan-kawan sebenarnya sudah tumbuh sejak berkenalan dengan tokoh-tokoh buangan di Boven Digul. Dari awal Frans menolak keras nama Papua – beliau menggunakan nama Irian yang meski asal kata dari bahasa Biak tapi IRIAN sering dipelesetkan kependekan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Sampai kawan sendiri pun dilawan – Elisier jan Bonay yang kelak menjadi tokoh OPM yang bermukim di Belana. Justru Frans bersama Silas dan Mathen berusaha memenangkan PEPERA agar Irian Jaya bergabung dengan Indonesia. Itu adalah sakit gila Frans nomor 3: Cinta Indonesia sepenuh hatinya. Cinta kepada sebuah negara yang baru seumur jagung seujung kuku. Bakti kepada bangsa yang meski beda warna kulit dan ras – berseberangan garis Wallace dengan masa interaksi yang baru sesaat.

Kurang ajar memang kurikulum sejarah ORBA sampai kami tidak tahu kisah orang hebat ini.
 Bahkan para pengibar bendera Bintang Kejora separatis di bundaran HI kemarin mungkin
 juga tidak tahu bahwasanya Irian – Papua sudah menjadi Indonesia sejak dari dalam kandungan.

img_4837

Tiba-tiba hanya karena gambar beliau ada di uang pecahan yang baru, lalu teriak-teriak ini Pahlawan siapa? Pahlawan apa? Siapa yang dibela? Kok seperti Warcraft, Homo, Hellboy, Hanoman ー maaf. Karena sebegitu benci dengan pemerintahan Jokowi sampai hati menghina fisik ayah, paman, kakek, buyut orang lain. Menghina fisik makhluk ciptaan Tuhan yang tidak pernah bisa memilih akan terlahir menjadi ras apa dan dari rahim siapa. Toh semuanya sudah tertulis di Lauful Mahfudz. Sampai hati mengolok-olok orang yang sudah meninggal yang tidak pernah meminta untuk dijadikan pahlawan. Boro-boro menjadi gambar di mata uang sepuluhribuan. Antara jijik dan kasihan membaca olok-olok itu semua.

Manusia kalau tidak tahu itu diam. Supaya tidak ketahuan kalau tidak tahu. Lalu segera mencari tahu. Biasanya sih seperti itu. Bukannya malah berteriak-teriak gaduh bangga atas ketidaktahuannya. Apalagi pamer atas ketidaktahuannya. Saya kehilangan analogi yang pas untuk menggambarkan parade kebodohan ini.

img_4848

Semoga damai disana Pak Frans, maafkan kami atas olokan orang-orang yang tidak belum tahu perjuangan dan pengorbanan bapak. Memang, masih banyak yang kurang ngopi dan ngunyah gorengan akhir-akhir ini.