Ok baiklah, cukup. Please. Please jangan. Jangan samakan beliau dengan Umar bin Khattab. Seriusan. Tanpa mengurangi rasa hormat. Sebagaimana kita juga hormat dan tidak menyederhanakan tauladan-tauladan Umar bin Khattab. Karena tentang Umar bukan hanya sebatas tegas dan berani. Bukan perkara membangkitkan ghirah dengan selalu menghujat dan berteriak-teriak.
Tentang Umar adalah tentang manusia yang sulit dicari tandingan kesederhanan-nya. Sifat sederhana yang sama besarnya dengan keberaniannya. Singa padang pasir, sang al Faruq – julukan yang diberikan langsung oleh Rasulullah SAW.
Pada masa itu Umar adalah Amirul Mukminin, sekaligus pemimpin bagi semua warga termasuk Yahudi dan Nasrani . Terkenal sebagai pemimpin yang adil, beliau dieluk-elukan warga Yahudi dan Nasrani ketika memasuki Damaskus sewaktu perang Yarmuk 636 M. Termasuk sang Uskup Sophronius yang menolak menyerahkan kota suci Yerusalem kepada panglima Khalid bin Walid. Beliau hanya mau menyerahkan kepada Umar bin Khattab, titik. Syahdan mendengar kabar itu, berangkatlah Umar ke Al Quds dengan hanya 1 pengawal. Tak ada rombongan tak ada juga iringan. Umar disambut baik oleh sang Uskup, berkeliling Yerusalem, bahkan ditawari untuk sholat di dalam Church of the Holy Sepulchre – meskipun ditolak oleh Umar yang khawatir nantinya akan menginspirasi umat Islam untuk mengubah gereja-gereja menjadi masjid. Umar – salah satu kalifah paling berkuasa pada masa itu – begitu rendah hatinya merasa cukup menggelar sajadah di luar gereja. Untuk mengenang kisah itu, sebuah masjid dibangun oleh Sultan Al Afdal bin Shalahuddin al-Ayyubi yang lokasinya sekarang persis berseberangan dengan gereja Makam Kudus, meskipun bukan tepat di lokasi tempat Sayyidina Umar menunaikan sholat. Sedikit pun Umar tidak ada rasa jumawa dan kuasa pasca Yerusalem kembali ke pihak muslim, tidak ada berteriak-teriak apalagi provokasi untuk mengusir semua kafir keluar dari Al Quds.
Bukan hanya kepada warga Nasrani, Umar pun menghormati warga Yahudi. Berbeda dengan sekarang, masa itu umat Nasrani – di Yerusalem khususnya – membenci umat Yahudi pasca pembantaian tawanan Nasrani oleh kaum Yahudi di Persia. Karena itu Kuil Sulaiman dijadikan tempat pembuangan sampah sebagai bentuk penghinaan. Umar bersihkan dan perbaiki komplek Al Aqsa yang menjadi satu dengan Kuil Sulaiman hingga menjadi suci kembali. Bagaimana Umar tidak dicintai berbagai umat masa itu.
Umar bin Khattab adalah baginda pemimpin negara tapi hanya memiliki 1 jubah – itu pun lusuh dan bertambal. Umar yang konon begitu ditakuti iblis hanya untuk berpapasan tapi Umar bisa menangis tersedu-sedu mendengar ada warganya yang lapar, sebelum mengangkut dan antar sendiri karung-karung sorgum ke rumah mereka. Umar adalah pionir blusukan. Umar tidak memelihara jaguar atau pun menunggangi singa untuk menunjukan keberaniannya. Tidak perlu label dan menunjuk dada. Tanpa berteriak-teriak dan menghujat. Tapi lawan pun kawan tahu perihal urat takutnya yang sudah putus semua, takutnya hanya kepada Allah.
Umar yang tegas menolak jamuan istimewa salah satu Gubernurnya hanya karena disuguhi menu spesial itu bukanlah makanan sehari-hari warganya. Umar yang mukanya memerah marah dan begitu murka mengetahui gajinya akan dinaikan. Umar yang terburu-buru mematikan lampu minyak di ruangan ketika salah satu anaknya datang untuk membicarakan permasalahan keluarga yang tidak ada sangkut-paut dengan urusan negara yang membiayai minyak lampu tersebut.
Umar yang penampilannya seperti fakir miskin tapi begitu kaya. Konon ketika Umar wafat meninggalkan waris sebanyak 70.000 ladang kurma dan sorgum.
Jadi please, tolong. Tanpa mengurangi rasa hormat, jangan disamakan dengan Umar hanya karena kemampuan menjadi singa podium sesaat kemarin. Umar bin Khattab pemimpin negara yang terhomat, pemberani dan adil bukan sebatas pemimpin ormas dan golongan. Sejarah mengisahkan bagaimana semua umat berbagai keyakinan merindukan dan mencintai Umar, mulai dari Damaskus hingga Yerusalem.
Bukan seperti yang mulia Umar bin Khattab, belum atau malah mungkin tidak akan bisa pernah.