Pak Surani

“…dengan kata lain, kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu” – Joko Pinurbo, 2004.

image1

Ini  foto pak Surani, atau pak Rani. Beliau adalah guru Matematika kami semasa SMA dulu – SMA 3 Yogyakarta. Kalau tidak salah ingat, beliau dulu tipe guru yg pendiam kaku, joke garing, cenderung nerd. Sebab konon jenius. Jangkung, rambut berombak belah pinggir dengan kacamata ala Jarvis Cocker. Sering ditengah-tengah menjelaskan, tiba-tiba saja hening terdiam. Lalu asik urak-urek sendiri di udara atau meja. Sekian menit, kelas seperti dipause. Lalu melanjutkan penjelasannya lagi ー sedikit revisi jika dibandingan dengan yg ada di buku teks.

Ternyata beberapa tahun terakhir pak Rani ngelangut tinggal di kampung. Menderita glaukoma. Sedih sekali melihat foto ini. Semakin sedih ketika menyadari kalau bekas anak didiknya, sudah dimana-mana. Malah kemana-mana. Mulai dari penulis novel 99 Cahaya Langit Eropa. Diaspora di berbagai negara. Bahkan sampai inisiator pengumpul KTP untuk jalur independen Teman Ahok. Sedang pak Rani sekarang, duh seperti simbah-simbah tani sepuh di kampung. Tidak berbekas sosok seniman trigonometri integral seperti yang dulu kami kenang. Urusan glaukoma ini tambah menyesakan. Karena salah satu muridnya ada yang sudah menjadi PhD dokter sub spesialis mata lulusan Melbourne. Berandai-andai saja glaukoma itu diobati sedari dini. Andai saja pak Rani curhat merengek-rengek di sosmed seperti Fahri Hamzah yang dipecat PKS. Berharap ribuan murid-muridnya tahu, lalu membantu.

Kalau sudah begitu, barulah terasa benar besarnya jasa guru-guru kita terdahulu. Ketika murid-muridnya sudah melanglang buana kemana-mana. Para guru kita (kebanyakan) ya masih begitu-begitu saja. Itulah kenapa amalan termulia yang paling mulia di Islam adalah amal jariyah. Mengajar salah satu bentuknya. Menyampaikan ilmu. Amalan yang dijanjikan dan dijamin tidak  terputus pahalanya. Kalau sudah sebegitu berjasanya, rasanya ya jiancuk sekali kok sekarang ini banyak viral murid-murid yg menyepelekan dan meremehkan guru. Yang merasa guru itu semacam barang. Bebas sudah selesai dibayar. Begitu mereka melunasi admission fee. Tipe murid yang sedikit-sedikit mengadu ke orangtua-nya. Tipe yg sok jagoan tapi mak menyunyuk nangis ketika diberi pelajaran tegas oleh gurunya. Tipe anak masa kini yg ngegemesin ー pengen diremet diplenet.

Foto pak Rani ini seperti menampar kami-kami yang sedang bingung memilih warna di showroom mobil inden. Selfie-selfie di roof top. Foto plesir nagri hadap belakang demi update di instagram. Atau mantap menyesap espresso di business lounge. Terhenyak dan teringat, kami bisa seperti sekarang ini adalah karena kontribusi pak Rani-pak Rani sekian belasan tahun dulu. Pak Rani-pak Rani yang tidak pernah mengharapkan balasan apa-apa. Terbersit lintas di pikiran pun tidak. Lah mbok yakin, wes to.

Jelas tak akan pernah bisa terbalas. Sembah sujud, bungkuk hormat untuk para tuan dan ibu guru kami. Baik yg masih ada pun sudah tiada, al-Fatihah.

Leave a comment